Banyak orang tua masih mengira bahwa anak yang lambat bicara hanyalah “telat tumbuh” dan akan berkembang dengan sendirinya. Namun, kenyataannya, gangguan bicara dan bahasa dapat berdampak panjang jika tidak ditangani sejak dini. Apalagi di era digital saat ini, banyak anak yang lebih sering berinteraksi dengan gawai daripada dengan manusia—sebuah fenomena yang dapat memperburuk keterlambatan komunikasi.
Data dari Ikatan Terapis Wicara Indonesia menunjukkan bahwa 1 dari 10 anak di Indonesia mengalami gangguan bicara atau bahasa. Ironisnya, sebagian besar kasus baru ditangani setelah usia anak menginjak 5 tahun, padahal periode emas perkembangan bicara terjadi sebelum usia tersebut.
Deteksi dini gangguan bicara adalah proses mengenali secara cepat tanda-tanda adanya keterlambatan atau gangguan pada kemampuan komunikasi seorang anak. Tujuannya adalah untuk memberikan intervensi sedini mungkin, baik melalui terapi wicara, pendekatan perilaku, maupun pelibatan orang tua secara aktif dalam stimulasi bicara anak.
Mendeteksi lebih awal bukan berarti menghakimi anak, tetapi justru memberikan kesempatan terbaik agar anak bisa tumbuh dengan lebih optimal secara komunikasi dan sosial.
Setiap anak berkembang dalam kecepatannya masing-masing, tetapi ada beberapa milestone perkembangan bahasa yang bisa menjadi acuan. Misalnya, pada usia 12 bulan anak biasanya mulai bisa mengucapkan satu atau dua kata sederhana seperti “mama” atau “papa”. Pada usia 18 bulan, mereka umumnya sudah memiliki 10 hingga 20 kosakata sederhana. Saat usia 2 tahun, anak biasanya bisa merangkai dua kata menjadi kalimat. Memasuki usia 3 tahun, mereka bisa berbicara dengan kalimat lengkap yang dimengerti orang lain, dan di usia 4 tahun biasanya sudah mampu menjawab pertanyaan sederhana serta menyebutkan nama dan umur.
Jika anak terlihat terlambat dalam mencapai tahap-tahap ini, orang tua sebaiknya mulai berkonsultasi dengan tenaga profesional, seperti terapis wicara atau psikolog anak. Lebih cepat intervensi dilakukan, lebih besar peluang anak untuk mengejar ketertinggalannya.
Di era digital, orang tua sering kali mengandalkan gadget untuk menenangkan atau menghibur anak. Padahal, interaksi langsung jauh lebih penting dalam mendukung perkembangan bahasa. Ada beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan orang tua.
Pertama, luangkan waktu khusus untuk berbicara dengan anak setiap hari. Hindari hanya memberikan perintah seperti “makan!” atau “diam!”, tapi ajak anak berbicara dua arah. Kedua, kurangi screen time, terutama sebelum usia 2 tahun. American Academy of Pediatrics menyarankan anak di bawah 2 tahun tidak diberikan gawai, karena dapat menghambat perkembangan bahasa. Ketiga, gunakan buku cerita dan lagu anak. Buku bergambar dan nyanyian sangat efektif untuk memperkenalkan kosakata baru dan melatih pemahaman. Keempat, jangan malu untuk berkonsultasi ke profesional. Konsultasi bukan berarti anak bermasalah, justru itu langkah cerdas agar tidak terlambat.
Selain kesadaran orang tua, kini hadir berbagai aplikasi dan perangkat digital yang dapat membantu mengidentifikasi potensi gangguan bicara. Misalnya, aplikasi yang memungkinkan orang tua melakukan tes singkat perkembangan bahasa anak secara mandiri, atau perangkat berbasis kecerdasan buatan (AI) yang dapat menganalisis rekaman suara anak dan memberi indikasi awal keterlambatan bicara. Untuk anak dengan gangguan berat seperti autisme atau cerebral palsy, Augmentative and Alternative Communication (AAC) juga bisa menjadi solusi.
Namun perlu diingat, teknologi ini hanya alat bantu awal. Peran konsultasi langsung dengan terapis wicara tetap tak tergantikan. Gunakan aplikasi dan perangkat sebagai pengingat atau panduan, bukan sebagai pengganti terapi profesional.
Jika gangguan bicara tidak ditangani sejak dini, bisa berdampak serius pada kehidupan anak. Anak bisa mengalami kesulitan belajar di sekolah, gangguan kepercayaan diri dan sosial, bahkan risiko mengalami gangguan emosional. Dalam beberapa kasus, frustrasi karena tidak mampu menyampaikan keinginan bisa menyebabkan masalah perilaku.
Deteksi dini gangguan bicara adalah investasi jangka panjang bagi masa depan anak. Tidak ada orang tua yang ingin anaknya mengalami hambatan dalam berkomunikasi, tapi tanpa kesadaran dan aksi nyata, gangguan ini bisa luput hingga terlambat diatasi.
Melalui edukasi yang tepat, dukungan teknologi, serta keterlibatan aktif orang tua, anak-anak Indonesia bisa tumbuh dengan kemampuan komunikasi yang kuat dan sehat.
Jangan ragu untuk membagikan artikel ini kepada orang tua lain yang mungkin membutuhkan informasi ini. Semakin banyak yang sadar, semakin besar peluang untuk membentuk generasi yang percaya diri dalam berkomunikasi.